BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Hukum bertujuan
mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka pergaulan hidup di
masyarakat.kepentingan manusia dalam masyarakat begitu luas, mulai dari
kepentingan pribadi hingga masyarakat dengan Negara. Untuk itu pergolongan
hukum privat mengatur kepentingan individu atau pribadi, seperti hukum dagang
dan hukum perdata. Hukum perikatan yang terdapat dalam buku III kitab
undang-undang hukum perdata merupakan hukum yan bersifat khusus dalam melakukan
perjanjian dan perbuatan hukum yang bersifat ekonomis atau perbuatan hukum yang
dapat dinilai dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum.
Dalam kegiatan
ekonomi terdapat upaya untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Namun harus
berdasarkan peraturan dan norma yang terdapat dalam undang-undang yang berlaku
maupun hukum yang berlaku. Dengan adanya hubungan hukum maka terjadi pertalian
hubungan subjek hukum dengan objek hukum (hubungan hak kebendaan). Dalam hukum
perjanjian didalamnya terdapat dua azas yaitu azas konsensualitas dan azas
kebebasan berkontrak.
Dalam
perkembangan perekonomian di Indonesia, tentunya memerlukan perangkat hukum
nasional yang sesuai dengan hukum perikatan atau kontrak yang berkembang
dinamis dalam masyarakat melengkapi perangkat perundang-undangan. Di Indonesia
berbagai peratutran undang-undang dibuat oleh pemerintah Indonesia telah
menggantikan sebagian kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang
hukum dagang. Naumun untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia maka ke dua
kitab undang-undang itu masih digunakan sampai ada peraturan perundang-undangan
yang baru untuk menggantinya.
1.2
Rumusan
Masalah
1)
Apakah pengertian dari
perjanjian?
2)
Apa saja azas-azas
dalam perjanjian
3)
Apa yang dimaksud
dengan subyek dan obyek perjanjian?
4)
Apa saja syarat sahnya
dari sebuah perjanjian dalam hukum?
5)
Bagaimana bentuk-bentuk
perjanjian?
6)
Apa yang dimaksud
dengan wanprestasi dan apa saja sanksinya?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah
Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut
Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
2.2.
Azas-Azas
Perjanjian
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan ada lima
azas dalam hukum perjanjian :
1. Azas
Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang
bahwa setiap pihak bebas untuk menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian
atau tidak, bebas mengadakan perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi
perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat perjanjian, dan bebas
menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan
mengalami perkembangan pada zaman Pertengahan (Rennaisance) dengan latar
belakang paham individualisme yang memandang bahwa setiap orang bebas
memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini adalah Hugo de
Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai
azas kebebasan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
2. Azas
Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut
sah apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan
yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini termaktub dalam pasal 1320 ayat
(1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum
Romawi mengenal azas contractus verbis literis dan contractus innominat, sebuah
perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi suatu bentuk yang ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian
riil dan perjanjian formal. Disebut perjanjian riil apabila perjanjian tersebut
dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut perjanjian formal apabila
perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.
3. Azas
Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki
kepastian hukum berkaitan dengan akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga
(hakim, dll.) harus menghormati substansi perjanjian dan tidak boleh melakukan
intervensi. Azas kepastian hukum tersebut termaktub dalam pasal 1338 ayat (1)
KUHP.
4. Azas
Itikad Baik (Good Faith)
Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi
perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada kepercayaan dan itikad
baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu nisbi dan mutlak.
Itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah
laku subjek perjanjian secara nyata, sedangkan itikad baik mutlak memandang
bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran objektif dan tidak memihak
berdasarkan norma-norma yang ada. Azas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3)
KUHP.
5. Azas
Kepribadian (Personality)
Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan
perjanjian berdasarkan kepentingan diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam
pasal 1315 KUHP yang berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri,” dan ditegaskan dalam
pasal 1340: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Dengan demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat
kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal
1317 KUHP: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
2.3.
Subyek
Dan Obyek Perjanjian
2.3.1. Pengertian
Subyek Hukum
Pengertian
subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan
pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek
dari hak-hak.
Dalam
menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang subyek
hukum ini di bagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai hak
(rechtsbevoegdheid) dan Kedua, wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan
hukum dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.
Pembagian Subyek Hukum
a)
Manusia
Pengertian secara yuridisnya ada dua
alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu Pertama,
manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kedua, kewenangan hukum. Dalam hal ini
kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai
pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya
manusia mempunyai hak sejak dalam kendungan (Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak
semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang
ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH
Perdata).
b)
Badan Hukum
Menurut sifatnya badan hukum ini
dibagi menjadi dua yaitu:
1)
Badan hukum publik, yaitu badan hukum
yang di dirikan oleh pemerintah.
Contohnya : Provinsi, kotapraja,
lembaga-lembaga dan bank-bank negara
2)
Badan hukum privat, adalah badan hukum
yang didirikan oleh perivat (bukan pemerintah)
Contohnya : Perhimpunan,
Perseroan Terbatas, Firma, Koprasi, Yayasan.
2.3.2. Pengertian
Obyek Hukum
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi
hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu
perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada
KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik. Benda itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu benda
berwujud dan benda tidak berwujud.
2.4.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat)
syarat komulatif. Keempat syarat untuk sahnya perjanjian tersebut antara lain :
1. Sepakat
diantara mereka yang mengikatkan diri. Artinya para pihak yang membuat.
2. Perjanjian
telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang
diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena
kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan.
3. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan. Arti kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini
adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai dengan
ketentuan KUHPerdata, mereka yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah
menikah. Cakap juga berarti orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan
tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Dan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum yaitu : orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal 1330
KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan,
menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUPerdata; serta orang-orang yang dilarang
oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang yang
telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
4. Suatu
Hal Tertentu. Artinya, dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus
jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
5. Suatu
Sebab Yang Halal. Artinya, suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal
yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, yaitu :
•
Tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
•
Tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan
•
Tidak bertentangan dengan undang-undang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, syarat
kesatu dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berbicara mengenai subjek
yang mengadakan perjanjian, sedangkan ketiga dan keempat dinamakan syarat
objektif, karena berbicara mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah
perjanjian. Dalam perjanjian bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi
maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak
cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak
dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan, bilamana
syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum.
Artinya batal demi hukum bahwa, dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak ada dasar untuk
saling menuntut di pengadilan.
2.5.
Bentuk
– Bentuk Perjanjian
Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata dapat diketahui
bahwa perikatan di bagi menjadi dua golongan besar yaitu :
1.
Perikatan perikatan yang bersumber pada
persetujuan (perjanjian )
2.
Perikatan prikatan yang bersumber pada
undang undang .
Selanjutnya
menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap perikatan-perikatan yang bersumber
pada undang undang di bagi lagi menjadi dua golongan yaitu :
1.
Perikatan perikatan yang bersumber pada
persetujuan (perjanjian )
2.
Perikatan prikatan yang bersumber pada
undang undang .
Menurut
pasal 1353 KUH .Perdata perikatan tersebut diatas dapat dibagi lagi menjadi dua
macam atau dua golongan yaitu sebagai berikut :
1.
Perikatan perikatan yang bersumber pada
undang undng berdasarkan perbuatan seseorang yang tidak melanggar hukum .
mislnya sebagai mana yang di atur dalam pasal 1359KUH . Perdata yaitu tentang
mengurus kepentingan orang lain secara sukarela dan seperti yang si atur dlam
pasal 1359 KUH .Perdata tentang pembayaran yang tidak di wajibkan.
2.
Perikatan perikatan yang bersumber pada
undang undang berdasarkan perbuatan seseorang yang melanggar hukum . hal ini
diatur didalam pasal 1365KUH. Perdata.
Pada
umumya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
di tetapkan suatu janji , selain untuk dirinya sendiri .Menurut Mariam Darus Badrul
Zaman bahwa yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah :
1.
Para pihak yang mengadakan perjanjian
itu sendiri
2.
Para ahli waris mereka dan mereka yang
mendapat hak dari padanya
3.
Pihak ketiga
2.6.
Wanprestasi
Suatu perjanjian
dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya
masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan.
Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena
adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun
yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan
dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari
wanprestasi yaitu:
1) Tidak
memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan
dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi
prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur
yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
Sedangkan
menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1) Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan
apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan
wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering
sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan
melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian
yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur
melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam
perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan
wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan
mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan
wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan
kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari
kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki
pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan
dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah
jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa
debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat
perintah
Surat
perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan
surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan
selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru
Sita.”
2) Akta
sejenis
Akta
ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul
dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya
sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran
terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan
tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut
berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk
dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya
batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa
tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
1.
Sanksi
Apabila
debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada debitur, yaitu:
1)
Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2)
Pembatalan perjanjian;
3)
Peralihan resiko;
4)
Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
2.
Ganti Kerugian
Penggantian
kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en
interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa
dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah
dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si
berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen),
yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai
(winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian
yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada
hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita.
Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang
sebab-akibat yaitu:
a) Conditio
Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A
adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan
terjadi jika tidak ada pristiwa.
b) Adequated
Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A
adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut
pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim
dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung
jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari
perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat
mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan
tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan
alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan
alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
3.
Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak
terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi.
Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena
keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah
melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi
setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus
menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan
dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:
a) Kreditur
tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor
tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar
ganti rugi;
c) Resiko
tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor
tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.
Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori
obyektif dan teori subjektif. Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat
mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang
mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak
mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa
jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi
prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada
B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan
tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda,
sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal
ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika
menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara.
Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya,
barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.
Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara
berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan
bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau
barang yang hilang ditemukan kembali.
4.
Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan
Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqih Muamalah
Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi
kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi.
Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir
wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini
disajikan pemikiran salah satu ahli fiqih muamalat Indonesia, Prof. DR. H.
Nasrun Haroen, M.A.
Untuk kelalaian itu ada resiko yang
harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut
ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal
barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut
perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi
ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam
perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang
disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah ganti rugi dari pihak
yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual,
maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila
kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak
sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual
juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi
kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan
contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.
Ganti kerugian dalam akad muamalah
dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan.
Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian
agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi
perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka
ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam
keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja
dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah
berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang
memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Jadi, kegiatan
perekonomian diatur oleh hukum perdata yang timbul dalam perikatan yang
bersumber dari perjanjian dan Undang-Undang. hukum perikatan digunakan dalam
perbuatan hukum jual-beli, sewa-menyewa, asuransi, perbankan, surat-surat
berharga, perjanjian kerja, pasar modal dan lainnya. Hukum perikatan juga
menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualitas sebagai induk dari
kebebasan para pihak dalam melakukan perikatan. Benda sebagai objek perikatan
disebut objek hukum dalam penyerahan benda bergerak dan tidak bergerak
merupakan salah satu prestasi yang harus dilakukan hak dan kewajibannya kepada
salah satu pihak dalam perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum diantara
dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya
itu berkewajibanuntuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak
menuntut dinamakan kreditur (si berpiutang), sedangkan pihak lainnya
yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur (si
berhutang).
Suatu perikatan bisa timbul baik karena perjanjian maupun karena
undang-undang – UU dan perjanjian adalah sumber perikatan. Dalam suatu
perjanjian, para pihak yang menandatanganinya sengaja menghendaki adanya
hubungan hukum diantara mereka – menghendaki adanya perikatan. Motivasi
tindakan para pihak adalah untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang
akan mengatur hubungan mereka, sehingga inisiatif munculnya hak dan kewajiban
perikatan itu ada pada mereka sendiri. Beda halnya dengan perikatan yang
bersumber pada undang-undang, dimana hak dan kewajiban yang muncul bukan
merupakan motivasi para pihak melainkan karena undang-undang mengaturnya
demikian.
Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian
merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan
adanya hubungan hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian
merupakan sumber perikatan.
3.2.
Saran
Demikian makalah kami
dapat kami selesaikan. Kami berharap agar makalah yang kami susun
ini menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan
mengenai hukum perdata, khususnya permasalahan hukum perjanjian dan
hukum perikatan ini.
Namun, dalam
penyusunan ini, kami sadar terdapat banyak kekurangan, Karena kami pun masih
dalam tahap belajar, dan menyusun. Maka dari itu kami membutuhkan kritik dan
saran yang konstruktif dari para pembaca dan pembimbing
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita,
Jakarta.
Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan
ke-VIII, PT Intermasa.
Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju
Silondae. Arus Akbar,
Fariana. Andi, ”Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis”, Mitra Wacana
Media, 2010
0 komentar:
Posting Komentar